labirin silsilah

11:01 PM

"Tongkat lagi?" seakan tak menunggu jeda Ibu menyambut kedatanganku dengan tanya yang sama dengan hari-hari lalu, dan saya pun mengangguk. "Sudah berapa ratus tongkat yang kau punya? buat apa sih koleksi tongkat? Ibu tahu tongkat-tongkatmu tidak murah, Ibu tahu kau menabung setiap uang yang dipunya untuk tongkat, tapi untuk apa? Diberi bekal makan kau menolak, tapi semua uangmu kau belikan tongkat, lama-lama kau bisa kurus seperti tongkat-tongkat koleksimu!" Ibu menghela napas panjang.
"Duduk sini nak"
"Saya lelah,bu"
"Ibu tahu kau pasti bosan mendengar ucapan yang sama setiap kau membeli tongkat, tapi Ibu juga bosan mendengar lelah dari setiap tawaran Ibu untuk mendengar. Kali ini tolong duduk ya,nak"
Ibu tersenyum tak seperti biasanya, dan saya menurut.
"Jadi kenapa kau mengumpulkan tongkat?"
"Karena saya suka?"
"Suka? Kenapa kau meyukai hal yang tidak sewajarnya disukai anak seumuran kau pada umumnya"
"Kenapa saya harus suka karena orang lain juga suka? Kenapa saya harus menjadi pada umumnya kalau saya bisa menjadi pada khusunya"
Ibu menghela napasnya kembali. "Kenapa kamu suka?"
"Karena kebutuhan lah makanya saya suka"
"Untuk apa? Kakimu sakit?"
"Tidak"
"Lalu?"
"Ibu kenapa tidak pernah ke rumah nenek?"
Ibu diam dan menundukkan kepalanya.
Saya tersenyum. "Ada satu ruang di mana Ibu tidak ingin saya memasukinya, begitupula saya."
Ibu hanya menatap dengan kosong.
Ruang tabu yang menjadi kunci dari akhir setiap diskusi.
                                                ****
Hari ini hari Sabtu, dan seperti akhir pekan biasanya makan malam selalu menjadi bertiga, ditambah kakak yang berkunjung dari dinas kerjanya.
"Ibu masak pesananku?"
"Udang goreng tepung untuk anak yang tak pernah lupa mengunjungi Ibunya"
"Aah pasti rasanya..."
"Seperti apel pacar" saya menyela.
Mereka seketika diam.
"Saya hanya bercanda, nggak usah ditanggapi berlebihan."
Saya tahu mereka salah tingkah, dan saya menikmati itu semua.
Kata tabu yang menjadi kunci dari akhir sebuah ilusi.
                                          ****
"Mau ibu bantu bersihkan tongkatmu?"
"Nggak usah, saya bisa sendiri seperti biasanya. Esensinya akan berbeda ketika ada jari lain yang berperan."
Ibu hanya menganggukan kepalanya seperti anak kecil yang habis diberi wejangan. Sungguh cantik.
"Kakak mana?"
"Ehm. Kakak lagi leyeh-leyeh di depan TV"
"Nggak ibu layani?"
"Maksudnya?" Ibu mengernyitkan kening.
"Jangan berkonotasi buruk. Melayani yang saya maksud hanya perwakilan dari kegiatan-kegiatan yang Ibu lakukan setiap minggu kok, membuatkan kakak cemilan, memijati kepalanya yang..."
"Hentikan kebiasaanmu menggunakan kata-kata ambigu"
"Semua hanya tergantung bagaimana pendengar merepresentasikannya."
"Ibu mulai tidak mengerti kau,nak" Pelan-pelan Ibu beranjak dari kamar.
"Tapi saya makin mengerti Ibu"
Ibu terhenti sesaat, dan melanjutkan kembali langkahnya.
Permainan kata yang menjadi kunci dari akhir sebuah pendekatan.
                                                         ****
"Dari mana kamu jam segini baru pulang?"
"Bukankan sudah biasa saya pulang terlambat, kenapa baru sekarang jadi masalah"
"Ini sudah lewat hari,nak"
"Maaf, tapi saya hanya larut dalam sebuah diskusi asik"
"Apa yang didiskusikan anak sekolahan hingga sepagi ini?"
"Banyak, termasuk mendiskusikan tongkat-tongkat saya"
Ibu langsung menegakkan duduknya, sangat tergambar bahwa ada pancar antusias dalam matanya. Menarik.
"Saya berniat membuang semua tongkat"
"Kenapa?" Ibu mulai berhati-hati bertanya..
"Karena saya sudah menemukan penggantinya"
"Apa?"
"Orang yang bisa dijadikan tumpu, saya sudah menemukan dia"
"Maksud kau?"
"Seperti gelas yang harus menampung niagara, selama ini saya terus dijejali fakta-fakta yang membuat mental saya lumpuh. Saya berada di titik lelah,bu. Sungguh. Saya butuh orang yang bisa menumpuku. Tapi siapa, tak banyak orang yang saya kenal dekat. Maka muncullah pikiran untuk memvisualkan penumpu. Pikiran bodoh yang baru saya sadari malam ini."
"Kenapa kau tidak cerita sama Ibu,nak?" Ibu menatapku dengan sinar iba.
"Bagaimana pencuri bisa mengaku dihadapan polisi?"
"Kau ada masalah dengan Ibu?"
"Ya. Saya suka dengan Ibu."
Ibu hanya membisu dengan ekspresi yang saya sendiri tidak bisa mengartikannya.
"Nggak usah kaget berlebihan, bukankah kejadian seperti ini sudah menjadi kanker di keluarga kita? Kakak itu ayah, paman itu kakek, dan kakek itu kakek buyut, iya kan? Ah, bahkan saya bingung harus memanggil apa kepada siapa di keluarga kita"
Ibu mulai mengatur nafasnya. "Diskusi dengan siapa kau malam ini?"
"Hanya sahabat. Lagipula dia hanya penasihat bukan nara sumber. Saya tahu ini semua sudah lama. Jangan remehkan pintu,bu. Pintu dapat menceritakan isinya tanpa harus menunjukkan apa di dalamnya, seperti mata yang memancarkan isi hati setiap insan."
Ibu kembali diam, masih terkejut dengan fakta bahwa saya mengetahui ruangnya dengan detail. Mungkin ini terlalu cepat buatnya.
"Dan malam ini saya memutuskan untuk tinggal di kos dekat sekolah, saya butuh penenangan diri. Ini semua di luar rencana, saya tidak pernah ada niat untuk memberitahukan Ibu bahwa saya tahu, maaf membuat Ibu harus terjejali fakta begitu cepat"
"Kenapa harus pindah,nak?"
"Saya butuh waktu untuk membiasakan melihatmu sebagai Ibu. Tenang, saya sudah tidak sesuka itu dengan Ibu kok"
Ibu kembali hanyut dalam pikirannya, dan mulai menerima keadaan.
"Sudah dapat kos?"
"Sudah. Semua sudah siap, nanti pagi saya sudah mulai pindah"
"Ini terlalu cepat,nak"
"Iya untuk Ibu, tapi tidak  untuk saya"
"Boleh Ibu antar?"
"Nggak usah. Ibu jangan tahu dulu saya di mana, tapi saya memilih tempat yang tepat kok. Lagipula saya akan selalu pulang setiap Sabtu. Saya pun ingin merasakan mengunjungi orang yang saya suka" Saya tersenyum menatap Ibu, sungguh ini tulus. "Saya tidur dulu,bu."
Dan lagi-lagi Ibu hanya membalasa dengan anggukan.
"Halo, iya aku udah bilang sama Ibu. Enggak, dia nggak protes kok aku pindah. Ibu juga nggak tau aku pindah di mana. Tapi kamu udah nyiapin alasan kan ke nenek buyut kalau kamu lagi tinggal di kontrakan aku? Apa? Pertemuan rutin pensiunan kantor? Hahaha alasan basi. Iya.. Iya... Besok jangan lupa jemput ya, bantu aku pindahan,  aku udah nolak tawaran Ibu,ni. Iya... oke.. see you"
Lelaki yang saya temui setiap malam selama setengah tahun ini ternyata kakek buyutku. Ya, sayapun baru tahu satu bulan lalu. Dia yang menjadi pemberi informasi di mana saya bisa membeli tongkat, dia yang pada akhirnya menyadarkan saya bahwa ada dia yang selalu siap menjadi tumpuanku. Lelaki berkharisma itu, pantas saja Ibu bisa secantik ini. Saya rasa saya mulai suka dengan beliau, begitu juga sebaliknya.
Sebuah rasa yang menjadi awal labirin silsilah.


My last day at Fukuoka,Japan (6th January 2011)
writen by : Nabilla Sekar Sari

You Might Also Like

2 komentar

  1. Kakak itu ayah, paman itu kakek, dan kakek itu kakek buyut

    jadi sbenernya ibu dan ayahnya udah g ada y, trus ibunya yg skarang kakak separuh baya y?
    aq agk g mudeng,hhe
    aq suka yg mengibaratkan tongkat dengan penumpu, hingga mengumpulkan tongkat untk memvisualisasikan isi hatinya

    ReplyDelete
  2. sekarang udah tau kan ripp :) hehe
    btw, makasih surip :D

    ReplyDelete

Followers