Gerimis
2:44 AM
“Gerimis….”
“Ya, gerimis..”
“Kamu tahu mas, kenapa banyak orang suka gerimis?”
“Mmm, romantis?”
“Romantis dan dramatis.”
Sang Suami hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya yang terus memandang jendela ruang tengah mereka yang semakin basah.
“Mencumbu, bercumbu, memeluk, dipeluk, merayu, dan dirayu, semuanya terasa lebih indah jika dilakukan ketika gerimis.”
“Aku tidak tahu dimana sisi indahnya,” lanjut Sang Istri yang tetap memandang jendela yang semakin buram karena gerimis. ”Menurutku, gerimis tidak lebih dari sekedar air yang turun dari langit, karena memang sudah saatnya dia melepaskan diri dari siklus air yang sering kita pelajari di bangku sekolah dasar. Seharusnya mereka lebih mencintai hujan karena hujan adalah akumulasi dari banyak gerimis, betul kan?”
Lagi-lagi Sang Suami hanya tersenyum.
“Kamu tidak bisa menyamakan hujan dengan gerimis, hanya karena mereka hampir sama. Ketika kamu menyukai biru muda, kamu tidak lalu mencintai biru tua hanya karena biru tua memiliki unsur biru muda yang banyak.”
”Menurutku semua biru sama.”
”Itu menurutmu...”
Suami istri itu terus berbincang dan berdiskusi mengenai gerimis hingga akhirnya mereka terlelap dalam bangku masing-masing.
Nama saya Dika, dan yang duduk di sofa adalah istri saya, Nita.
Setiap gerimis, saya dan istri saya mempunyai ritual yang bahkan saya sendiri tidak ingat kapan dan mengapa ini dimulai. Sebuah diskusi panjang tentang gerimis yang selalu dan harus dilakukan dengan format yang selalu dan harus sama. Harus. Tanpa ada satu kata pun yang berbeda.
Kami tidak bisa mengganti biru dengan warna lain seperti jingga atau bahkan mengganti sebuah senyuman dengan kata “Ah bisa saja…”
Tidak bisa.
Jika kata biru tidak didengarnya, maka istri saya, Nita, akan bingung dan linglung mencari kemana si biru pergi. Ia akan merasa kehilangan tanpa mengetahui apa yang kurang. Jangan harap kelinglungan itu akan selesai dengan satu kalimat ”Maaf sayang, maksud saya biru..”
Susah? Memang. Bahkan di awal ritual ini saya harus mencatat dan menghafal supaya tidak ada perbedaan satu kata pun dari percakapan sebelumnya. Semua ini demi istri saya.
Setiap gerimis, saya dan suami saya mempunyai ritual yang bahkan saya sendiri tidak ingat kapan dan mengapa ini dimulai. Sebuah diskusi panjang tentang gerimis yang selalu dan harus dilakukan dengan format yang selalu dan harus sama. Harus.Tanpa ada satu kata pun yang berbeda.
Kami tidak bisa mengganti bercumbu dengan kegiatan lain seperti bergandengan atau bahkan mengganti dengan sebutan lain seperti berciuman.
Tidak bisa.
Jika kata bercumbu tidak didengarnya, maka suami saya, Dika, akan bingung dan linglung mencari kemana cumbunya pergi. Ia akan merasa kehilangan tanpa mengetahui apa yang kurang. Jangan harap kelinglungan itu akan selesai dengan satu kalimat ”Berciuman dengan bercumbu itu sama sayang..”
Susah? Memang. Bahkan di awal ritual ini saya harus mencatat dan menghafal supaya tidak ada perbedaan satu kata pun dari percakapan sebelumnya. Semua ini demi suami saya.
Namaku Nika, anak tunggal dari ayah dan ibu, Nita dan Dika. Tentu saja kalian semua tahu dari mana namaku berasal. Nama yang tidak kreatif dan hanya penjumlahan serta eliminasi dari nama orang tuaku.
Ya, aku tahu ritual gerimis mereka. Bukan berdoa, bukan sesaji, tetapi berbincang. Akupun tidak tahu sejak kapan dan mengapa ritual itu dimulai. Nenek hanya menugaskanku dan Pak Mo, supir di rumah ini, untuk mengawasi mereka ketika gerimis dimulai, terutama jika gerimis terjadi ketika mereka sedang tidak dalam posisi yang sama. Maka saat itu juga aku menggantikan posisi Ayah ketika Ibu memulai ritualnya dan begitu juga Pak Mo yang menggantikan posisi Ibu ketika Ayah memulai ritualnya. Mereka tidak peduli mereka berbicara dengan siapa, yang terpenting adalah berdiskusi dan terus berdikusi dengan kalimat dan jawaban yang sama hingga mereka terlelap.
Ayah merasa Ibu lah yang mempunyai ritual ini, sehingga ia harus siaga ketika mendung mulai memayungi rumah ini, demi menjaga kelabilan emosi ibu. Dan Ibu pun juga merasa bahwa ini adalah ritual Ayah, sehingga ia pun harus siaga ketika mendung datang, demi menjaga kelabilan emosi Ayah.
Itulah mereka, saling tidak merasa bahwa ritual ini adalah milik mereka berdua, dan saling merasa bahwa mereka mempunyai salinan pembicaraan yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri dengan cinta disetiap tintanya. Padahal, kalian tahu? Nenek dan Pak Mo lah yang membuatnya......
”Nika...”
”Ibu sudah bangun?”
“Ya.. Ayah mana?”
“Aku di sini.”
“Gerimis sudah berhenti, mas.”
“Ya, sinar matahari sudah terasa lagi. Mau duduk di teras? Pasti halaman kita tampak indah dengan sisa tetesan gerimis di setiap daunnya.”
Ibu tersenyum dan melanjutkanya dengan anggukan yang mantap. ”Nika, tolong ambilkan apel dalam kulkas dan tolong antarkan ke teras depan”
”Iya, Bu.”
Terkadang aku tidak tahu, mereka menganggapku sebagai anak atau orang lain. Mereka tidak peduli nilai raporku bagus atau tidak, mereka tidak peduli aku sedang jatuh cinta atau tidak, yang mereka pedulikan adalah aku menemani mereka setiap ritual itu dimulai. Yaah, setidaknya aku tetap dianggap ada.
”Ini, Bu, apel dan pisaunya..”
Ibu tidak menggubris. Sepertinya mereka sedang berdiskusi hebat.
”...............tapi mereka menganggap embun adalah properti keindahan pagi yang akan kurang jika dia tidak ada di atas daun. Padahal menurutku, mas, embun tidak lebih dari sekedar air yang sedang hinggap di atas daun dan tak lama lagi runtuh menyatu dengan tanah dan cacing”
”Itu kan menurut... mmm..., tapi bukan itu maksudku! Aku tak tahu, aku bingung..”
”Ya, bukan itu, Mas..... Aku juga tidak suka apa yang kamu ucapkan.....”
Mereka terus bingung dan linglung. Aku hafal tabiat ini. Sangat hafal. Tapi mengapa mereka bagini? Ini bukan ritual. Tidak seharusnya mereka begini. Tidak seharusnya.....
Aku tahu! Aku sering mendengar pembicaraan ini ketika gerimis usai. Teras, apel, embun. Ritual baru akan menambah memori mereka. Tidak hanya gerimis, tapi juga embun.
”Pak Mo, saatnya kita bekerja keras, lagi!”
Nabilla Sekarsari
“Ya, gerimis..”
“Kamu tahu mas, kenapa banyak orang suka gerimis?”
“Mmm, romantis?”
“Romantis dan dramatis.”
Sang Suami hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya yang terus memandang jendela ruang tengah mereka yang semakin basah.
“Mencumbu, bercumbu, memeluk, dipeluk, merayu, dan dirayu, semuanya terasa lebih indah jika dilakukan ketika gerimis.”
“Aku tidak tahu dimana sisi indahnya,” lanjut Sang Istri yang tetap memandang jendela yang semakin buram karena gerimis. ”Menurutku, gerimis tidak lebih dari sekedar air yang turun dari langit, karena memang sudah saatnya dia melepaskan diri dari siklus air yang sering kita pelajari di bangku sekolah dasar. Seharusnya mereka lebih mencintai hujan karena hujan adalah akumulasi dari banyak gerimis, betul kan?”
Lagi-lagi Sang Suami hanya tersenyum.
“Kamu tidak bisa menyamakan hujan dengan gerimis, hanya karena mereka hampir sama. Ketika kamu menyukai biru muda, kamu tidak lalu mencintai biru tua hanya karena biru tua memiliki unsur biru muda yang banyak.”
”Menurutku semua biru sama.”
”Itu menurutmu...”
Suami istri itu terus berbincang dan berdiskusi mengenai gerimis hingga akhirnya mereka terlelap dalam bangku masing-masing.
***
Setiap gerimis, saya dan istri saya mempunyai ritual yang bahkan saya sendiri tidak ingat kapan dan mengapa ini dimulai. Sebuah diskusi panjang tentang gerimis yang selalu dan harus dilakukan dengan format yang selalu dan harus sama. Harus. Tanpa ada satu kata pun yang berbeda.
Kami tidak bisa mengganti biru dengan warna lain seperti jingga atau bahkan mengganti sebuah senyuman dengan kata “Ah bisa saja…”
Tidak bisa.
Jika kata biru tidak didengarnya, maka istri saya, Nita, akan bingung dan linglung mencari kemana si biru pergi. Ia akan merasa kehilangan tanpa mengetahui apa yang kurang. Jangan harap kelinglungan itu akan selesai dengan satu kalimat ”Maaf sayang, maksud saya biru..”
Susah? Memang. Bahkan di awal ritual ini saya harus mencatat dan menghafal supaya tidak ada perbedaan satu kata pun dari percakapan sebelumnya. Semua ini demi istri saya.
***
Nama saya Nita, dan yang duduk di kursi goyang itu adalah suami saya, Dika.Setiap gerimis, saya dan suami saya mempunyai ritual yang bahkan saya sendiri tidak ingat kapan dan mengapa ini dimulai. Sebuah diskusi panjang tentang gerimis yang selalu dan harus dilakukan dengan format yang selalu dan harus sama. Harus.Tanpa ada satu kata pun yang berbeda.
Kami tidak bisa mengganti bercumbu dengan kegiatan lain seperti bergandengan atau bahkan mengganti dengan sebutan lain seperti berciuman.
Tidak bisa.
Jika kata bercumbu tidak didengarnya, maka suami saya, Dika, akan bingung dan linglung mencari kemana cumbunya pergi. Ia akan merasa kehilangan tanpa mengetahui apa yang kurang. Jangan harap kelinglungan itu akan selesai dengan satu kalimat ”Berciuman dengan bercumbu itu sama sayang..”
Susah? Memang. Bahkan di awal ritual ini saya harus mencatat dan menghafal supaya tidak ada perbedaan satu kata pun dari percakapan sebelumnya. Semua ini demi suami saya.
***
Namaku Nika, anak tunggal dari ayah dan ibu, Nita dan Dika. Tentu saja kalian semua tahu dari mana namaku berasal. Nama yang tidak kreatif dan hanya penjumlahan serta eliminasi dari nama orang tuaku.
Ya, aku tahu ritual gerimis mereka. Bukan berdoa, bukan sesaji, tetapi berbincang. Akupun tidak tahu sejak kapan dan mengapa ritual itu dimulai. Nenek hanya menugaskanku dan Pak Mo, supir di rumah ini, untuk mengawasi mereka ketika gerimis dimulai, terutama jika gerimis terjadi ketika mereka sedang tidak dalam posisi yang sama. Maka saat itu juga aku menggantikan posisi Ayah ketika Ibu memulai ritualnya dan begitu juga Pak Mo yang menggantikan posisi Ibu ketika Ayah memulai ritualnya. Mereka tidak peduli mereka berbicara dengan siapa, yang terpenting adalah berdiskusi dan terus berdikusi dengan kalimat dan jawaban yang sama hingga mereka terlelap.
Ayah merasa Ibu lah yang mempunyai ritual ini, sehingga ia harus siaga ketika mendung mulai memayungi rumah ini, demi menjaga kelabilan emosi ibu. Dan Ibu pun juga merasa bahwa ini adalah ritual Ayah, sehingga ia pun harus siaga ketika mendung datang, demi menjaga kelabilan emosi Ayah.
Itulah mereka, saling tidak merasa bahwa ritual ini adalah milik mereka berdua, dan saling merasa bahwa mereka mempunyai salinan pembicaraan yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri dengan cinta disetiap tintanya. Padahal, kalian tahu? Nenek dan Pak Mo lah yang membuatnya......
”Nika...”
”Ibu sudah bangun?”
“Ya.. Ayah mana?”
“Aku di sini.”
“Gerimis sudah berhenti, mas.”
“Ya, sinar matahari sudah terasa lagi. Mau duduk di teras? Pasti halaman kita tampak indah dengan sisa tetesan gerimis di setiap daunnya.”
Ibu tersenyum dan melanjutkanya dengan anggukan yang mantap. ”Nika, tolong ambilkan apel dalam kulkas dan tolong antarkan ke teras depan”
”Iya, Bu.”
Terkadang aku tidak tahu, mereka menganggapku sebagai anak atau orang lain. Mereka tidak peduli nilai raporku bagus atau tidak, mereka tidak peduli aku sedang jatuh cinta atau tidak, yang mereka pedulikan adalah aku menemani mereka setiap ritual itu dimulai. Yaah, setidaknya aku tetap dianggap ada.
”Ini, Bu, apel dan pisaunya..”
Ibu tidak menggubris. Sepertinya mereka sedang berdiskusi hebat.
”...............tapi mereka menganggap embun adalah properti keindahan pagi yang akan kurang jika dia tidak ada di atas daun. Padahal menurutku, mas, embun tidak lebih dari sekedar air yang sedang hinggap di atas daun dan tak lama lagi runtuh menyatu dengan tanah dan cacing”
”Itu kan menurut... mmm..., tapi bukan itu maksudku! Aku tak tahu, aku bingung..”
”Ya, bukan itu, Mas..... Aku juga tidak suka apa yang kamu ucapkan.....”
Mereka terus bingung dan linglung. Aku hafal tabiat ini. Sangat hafal. Tapi mengapa mereka bagini? Ini bukan ritual. Tidak seharusnya mereka begini. Tidak seharusnya.....
Aku tahu! Aku sering mendengar pembicaraan ini ketika gerimis usai. Teras, apel, embun. Ritual baru akan menambah memori mereka. Tidak hanya gerimis, tapi juga embun.
”Pak Mo, saatnya kita bekerja keras, lagi!”
Nabilla Sekarsari
0 komentar